Menjaga Jalan dan Lintasan

Text : Riyan Hadinafta
Jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sudah pasti jalan raya di Jakarta akan menjadi sangat padat oleh kendaraan bermotor, padat oleh mereka yang baru menyelesaikan aktifitas kantoran yang hendak pulang menuju rumah. Jalanan di Jakarta seperti tidak menyisakan ruang untuk kendaraan-kendaraan beranjak barang semeter pun. Setiap sudut jalan bagai lautan kendaraan. Salah satu sudut yang menjadi pusat kemacetan itu adalah jalan yang dilewati oleh lintasan Kereta Api.

Sore hari memang waktu tersibuk bagi jalanan di ibu kota. Tidak hanya mobil pribadi atau kendaraan umum seperti bis atau angkutan umum maupun bajaj. Kereta api sebagai salah satu transportasi massal juga berlalu lalang pada waktu tersebut. Membawa manusia-manusia yang dikejar waktu untuk pulang ke rumah dan beristirahat.

Pintu lintasan kereta api naik dan turun setiap kereta api melewati lintasannya. Sirinenya meraung-raung untuk memberikan tanda kepada pengguna jalan raya bahwa mereka harus menghentikan kendaraannya untuk menunggu kereta api lewat. Hal itu pula yang membuat deretan kendaraan yang antri menjadi begitu panjang dan membuat sebagian dari mereka gerah untuk menunggu. Padahal apa yang mereka tunggu semata-mata adalah untuk keselamatan mereka sendiri.

Suprianto (44) sibuk menunggu panggilan dari penjaga pintu lintasan sebelumnya. Tangan kirinya sibuk memegang telepon panggilan, sementara tangan kanannya siaga memegang tombol yang berfungsi untuk menurunkan dan menaikkan pintu lintasan. Dia harus terus siaga karena pintu lintasan harus dibuka dan ditutup tepat pada waktunya. Lima menit sekali kereta lewat, dan lima menit sekali pula ia harus duduk siaga di depan alat kontrol. Meski terkadang merelakan waktu makan dan istirahatnya.

Meskipun Suprianto tidak bekerja sendiri, akan tetapi pekerjaan menunggu, memberi tanda, dan mengoperasikan pintu dilakukannya seorang diri. Rekan kerjanya Rohmat (36) bertugas mengamankan keadaan di dekat pintu. Sekaligus menertibkan para pengemudi yang kadang suka membandel.

Suprianto dan Rohmat telah bekerja menjaga pintu lintasan kereta api selama lebih dari sembilan tahun. Tepatnya pintu lintasan kereta api daerah manggarai yang diberi nomor 14. Selama itu pula ia harus terus melakukan koordinasi dengan penjaga pintu nomor 15 yang berada tepat sesudah stasiun Tebet dan operator stasiun Manggarai. “Sirine penanda kereta lewat akan dibunyikan apabila kereta sudah melewati pintu sebelumnya. Disaat itu pula pintu lintasan pelan-pelan saya turunkan.” Ucapnya sambil sibuk dengan perangkat kerjanya yang hanya terdiri atas telepon panggilan, serta beberapa tombol yang berfungsi untuk menurunkan dan menaikkan pintu lintasan.

“Telepon ini berfungsi sebagai alat komunikasi dengan stasiun manggarai dan penjaga pintu Tebet. Mereka akan memberitahukan kondisi apapun menyangkut kereta api yang akan melintas. Makanya saya tidak boleh lepas dari alat komunikasi ini. Karena jika lalai, nyawa para pengemudi yang jadi taruhannya”. Ungkap Suprianto.
Disamping itu, Rohmat menambahkan, bahwa para pengemudi yang tidak disiplin mangharuskannya untuk terus menjaga pintu kereta agar para pengemudi yang berniat untuk menerobos lintasan dapat dicegah. “Karena itu dapat membahayakan keselamatan mereka sendiri.”

Rohmat sendiri justru pernah dimarahi oleh para pengemudi dikarenakan gerahnya mereka akibat lama menunggu pintu yang tidak kunjung di angkat. “Bukan apa-apa, pada saat itu memang kereta yang akan lewat lebih dari dua kereta, dan masing-masing hanya berjarak satu lintasan sinyal. Jadi pintu kereta kita tutup terus agar aman. Eh, para pengemudi malah marah-marah. Saya kan jadi bingung, padahal tujuannya kan demi keselamatan mereka.”

Lain lagi dengan Suprianto, ketika awal-awal bekerja sebagai penjaga pintu lintasan kereta, ia harus di hadapkan dengan kondisi pintu kereta yang sudah tidak baik. Jadi ia sendiri yang harus menurunkan dan mengangkat kembali pintu lintasan dengan tangannya. “Pada saat itu hujan dan sialnya lagi, tombol operasi pintu tidak bekerja. Dari pada para pengendara ngamuk-ngamuk, pintunya saya angkat sendiri saja.” kenangnya.

Memang, setiap kereta yang melintas, tidak boleh berada pada sinyal yang sama. Setiap kereta, minimal berjarak satu sinyal. Artinya, setiap kereta yang melintas minimal berjarak satu stasiun dengan kereta lain. Hal itu diatur untuk menghindari terjadinya kecelakaan kereta.

Tidak banyak orang yang bisa berfikir bahwa setiap pekerjaan, meskipun dianggap kecil, pasti memberikan manfaat bagi orang-orang disekitar kita. Jika dilihat, pekerjaan sebagai penjaga pintu kereta tampak seperti pekerjaan sepele. Akan tetapi, jika para panjaga itu sedikit saja lalai, nyawa banyak orang manjadi taruhannya. Akan tetapi, jika pekerjaan itu dilakukannya dengan sunguh-sungguh, coba lihat berapa banyak orang yang dapat melakukan aktivitas mereka dengan selamat, dan hitung juga keuntungan yang diperoleh negeri ini karena roda ekonomi masyarakatnya dapat berjalan dengan lancar. Ya, penjaga pintu kereta pun punya andil dalam hal itu.

Suprianto dan Rohmat adalah sedikit dari orang-orang yang bersedia melakukan itu. Walapun sebenarnya mereka berharap bisa memperoleh pekerjaan yang dilihat banyak orang “lebih baik.” Namun apa mau dikata, latar belakang pendidikan mereka yang hanya tamat sekolah lanjutan tidak meberikan mereka tempat untuk bisa berada di posisi tersebut. Akan tetapi kemudian mereka menilai pekerjaan mereka ini sebagai suatu bentuk pengabdian. “Pengabdian ini nilainya jauh lebih besar dari pada sekedar gaji yang saya peroleh. Gaji itu kan bonusnya.” Kata Suprianto sambil tersenyum.

“Saya juga selalu berfikir bahwa perkejaan saya ini sangat penting. Penting bagi kelancaran arus transportasi di daerah ini (Jakarta-red). Karena pengguna kereta listrik itu sangat banyak. Baik di Jakarta sendiri maupun dari luar Jakarta, seperti Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Jika sedikit saja kami melakukan kesalahan, akibatnya bisa fatal.” tambahnya.

Pengabdian dalam bekerja memang hal yang mutlak diperlukan oleh orang seperti Suprianto dan Rohmat. Akan tetapi, lagi-lagi masalah kesejahteraan adalah hal yang masih dikeluhkan oleh pegawai rendahan seperti mereka. “Untuk masalah gaji, sebenarnya kalau dikatakan cukup ya tidak. Sebenarnya itu pintar-pintar mengelola uang saja. Tapi jika dihiting-hitung, ya hidup saya dengan gaji yang saya peroleh sekarang jadi tidak ada peningkatan,” kata Rohmat. Padahal Suprianto dan Rohmat telah bekerja lebih dari sembilan tahun. Dengan kondisi kerja yang boleh dikatakan tidak mudah. Dengan tanggung jawab perkerjaan yang boleh dikatakan tidak kecil.

Suprianto dan Rohmat berharap atasan mereka mau lebih meperhatikan kesejahteraan para pegawai seperti mereka. Harapan yang sebenarnya menjadi hak mereka.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by 69plusplus Magazine  |  Template by Blogger