Srigala berwajah Kupu-Kupu (Lupus)

Sebagian dari kita pernah mendengar kata ”Lupus”, tapi Lupus yang satu ini bukan Lupus yang suka makan permen karet, Lupus yang kita maksud sebuah penyakit yang banyak menyerang kaum wanita. Lupus adalah penyakit “autoimmune” di mana antibodi yang seharusnya melindungi tubuh (pada orang normal ) karena sebab yang tidak diketahui sampai saat ini, menjadi liar dan menyerang jaringan-jaringan tubuh normal lainnya. penyakit ini adalah kebalikan dari kanker atau HIV/AIDS. Lupus sendiri bukan penyakit infeksi ataupun penyakit menular.Penyebab pasti dari lupus sampai saat ini belum diketahui, diduga merupakan beberapa kombinasi dari beberapa faktor. Ada 3 (tiga) jenis penyakit Lupus yang dikenal saat ini yaitu:

1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneous Lupus, yaitu: penyakit Lupus yang menyerang kulit.
2. Systemic Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan sistem di dalam tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemic Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced Lupus, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

Kira-kira 10% kasus Discoid Lupus dapat berkembang menjadi Systemic Lupus, tetapi tidak bisa diprediksi dan dicegah sejak timbulnya Discoid Lupus ini.

Drug-Induced Lupus bersifat reversible, artinya dapat kembali normal setelah pemakaian obat dihentikan, tetapi Systemic Lupus bersifat irreversible.

SLE (Systemic Lupus Erythematosus) sangat susah di diagnosa, karena SLE merupakan suatu penyakit yang menyerang banyak sistem tubuh, jadi sebelum ditegakkan diagnosa, dapat terjadi gejala-gejala di beberapa bagian tubuh dan dengan tes darah barulah dapat mendukung diagnosa penyakit ini.

Kesulitan dalam mendiagnosa karena penyakit ini merupakan tipe yang berkembang dengan lambat dan lama, di mana gejalanya dapat datang dan pergi, jadi butuh waktu untuk membuktikan keberadaan penyakit ini di dalam darah, di mana hasil pemeriksaan suatu saat positif dan disaat lain bisa saja negatif.
Ini membutuhkan waktu beberapa bulan bahkan beberapa tahun bagi dokter untuk dapat memberikan diagnosa yang akurat untuk penyakit ini. SLE juga sulit didiagnosa karena tidak ada tes laboratorium khusus untuk penyakit ini. Seorang dokter harus melakukan pengamatan secara penuh dan melakukan berbagai tes sebelum dapat memberikan keputusan yang tepat.

Dari informasi berbagai sumber, seperti sejarah pengobatan masa lalu, hasil tes laboratorium dan gejala-gejala yang timbul saat ini, ada 11 (sebelas) kriteria untuk mendiagnosa Lupus. Umumnya seseorang memenuhi paling sedikit 4 kriteria sebelum di diagnosa menderita SLE .
11 (sebelas) kriteria itu, yaitu:
1. Malar rash (merah pada pipi).
2. Discoid rash (bercak merah pada kulit).
3. Photosensitivity (peka terhadap cahaya).
4. Oral Ulcers (luka sekitar mulut).
5. Arthritis (radang sendi).
6. Serositis (radang pada selaput sereus).
7. Renal disorder (kelainan pada ginjal).
8. Neurologic disorder (kelainan fungsi saraf).
9. Hematologic disorder (kelainan darah).
10. Immunologic disorder (kelainan pada sistem kekebalan tubuh).
11. Antinuclear antibody (ANA).

ANA tes adalah suatu pemeriksaan darah yang menghitung antibodi yang terbentuk yang secara langsung melawan berbagai komponen dari nucleus (inti sel).
ANA tes ini merupakan pemeriksaan awal untuk penyakit Lupus. Pasien Lupus umumnya mempunyai antinuclear antibodi yang tinggi, hampir 95% pasien SLE akan positif jika diperiksa dengan tes ini.
Jarang sekali pasien Lupus memiliki hasil tes yang negatif. Walaupun ini terjadi kemungkinan itu hanya sementara sebelum tes ini menjadi positif. Tetapi hasil tes ANA yang positif ini tidak langsung memberikan hasil diagnosa positif Lupus, tapi ini hanya salah satu indikator. Hasil positif tes ANA ini hanya merupakan salah satu kriteria dan pasien setidaknya harus memenuhi 3 (tiga) kriteria tambahan sebelum dikatakan terkena penyakit Lupus.

Orang-orang yang mempunyai keluarga yang pernah terkena penyakit Lupus ini dicurigai berkecenderungan untuk terkena penyakit ini, lebih kurang 5-12% lebih besar dibanding orang normal.

Untuk orang-orang kulit hitam seperti Amerika dan Afrika angka kemungkinannya yaitu 1:250, sedang untuk orang kulit putih 1:1000 dan orang-orang latin 1:500, untuk orang asia belum ada angka yang pasti sampai saat ini.

Perbandingan penderita penyakit Lupus ini antara wanita dan pria adalah 9:1, dan 80% dari kasus ini menyerang wanita dalam usia produktif.

Tidak ada peraturan khusus dalam hal pengobatannya, pasien Lupus dapat didiagnosa dan diobati oleh banyak dokter spesialis, misalnya dokter ahli reumatik, dokter ahli kulit, dokter ahli saraf, dokter ahli immunologi, atau dapat juga diobati oleh dokter umum. Karena sifat penyakitnya yang sistemik

Biasanya odipus (orang hidup dengan lupus)akan menghindari hal-hal yang dapat membuat penyakitnya kambuh dengan :

1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. Mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. Menghindari pemakaian obat tertentu.
Untuk saat ini masih belum ada cara pencegahan untuk penyakit ini, tetapi riset sedang dilakukan di seluruh dunia untuk menemukan cara pengobatan yang baru dan penyebab pasti penyakit ini. Mudah-mudahan ada harapan untuk masa depan. Bagaimanapun penyakit ini dapat dikendalikan dengan pengobatan.

Menurut dr. Harry Isbagyo, SpPD, KR, dari Sub Bagian Reumatologi, Bagian Penyakit Dalam, FKUI/RSCM, proses pengobatan pasien Lupus mesti dievaluasi minimal tiga bulan sekali, tergantung status kesehatannya. Tujuannya, untuk mengevaluasi aktivitas penyakit dan menentukan pengobatan selanjutnya. "Penyakit ini berlangsung lama, bisa bertahun-tahun. Jadi harus sabar dalam menjalani pengobatan," jelas dr. Harry.

Menurut dr. Harry, bagi odipus, kecapekan dan stres berat merupakan penyebab tercetusnya gejala lupus. Karena itu, hidup teratur merupakan keharusan. "Olahraga juga boleh. Tapi jangan dipaksakan, misalnya jangan dilakukan pada siang hari saat matahari sudah kuat,"

Penderita juga perlu segera mencari pertolongan medis bila timbul gejala panas tanpa diketahui penyebabnya. Bila hendak mendapat berbagai tindakan medik, macam pengobatan gigi, tindakan terhadap saluran kemih dan kandungan, atau tindakan bedah lainnya, penderita perlu berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan antibiotika pencegahan. Bila penderita terserang pada organ utama, seperti ginjal, paru, jantung, dsb., penyakitnya sedang aktif, atau dalam pengobatan dengan obat-obatan imunsurpresif, dia sebaiknya dicegah dari kehamilan.

"Penderita yang penyakitnya sedang aktif, jarang sekali bisa hamil. Kalaupun bisa hamil biasanya akan menimbulkan keguguran. Karena itu, kalau berhasil hamil sebaiknya penyakitnya selalu dikontrol," tegas dr. Harry. Namun dokter ini juga mengingatkan bahwa yang terbaik adalah kehamilan terencana. Artinya, selama penyakitnya aktif, kehamilan dihindarkan dan pengobatan dilakukan secara intensif. Odapus dianjurkan menghindari kontrasepsi yang mengandung estrogen. Setelah penyakitnya teratasi, barulah merencanakan kehamilan.

Dalam pengobatan lupus, ada dua kategori obat yang digunakan, yakni golongan kortikosteroid dan golongan selain kortikosteroid. Golongan kortikosteroid merupakan obat utama penyakit lupus. Untuk kelainan kulit diberikan dalam bentuk topikal (salep, krem, atau cairan). Untuk lupus ringan digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet dosis rendah. Bila lupus sudah dalam kondisi berat, digunakan kortikosteroid dalam bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. "Kalau sudah menyerang otak, misalnya, dosisnya bisa sampai 1.000 mg per hari," jelas dr. Harry. Setelah kondisinya teratasi, dosis diturunkan sampai dosis terendah yang dapat mencegah kambuhnya penyakit.

Obat golongan bukan kortikosteroid biasanya merupakan pelengkap obat kortikosteroid. Di antara obat golongan ini adalah antiinflamasi nonsteroid (OAINS) untuk mengatasi keluhan nyeri dan bengkak sendi; obat antimalaria (kloroquin/resochin, dihidroksi kloroquin/plaquenil) untuk mengatasi gejala penyakit pada kulit, rambut, nyeri otot dan sendi, bahkan untuk odapus dengan gejala ringan; dan obat imunosupresif macam siklofostamid untuk kondisi yang disertai gangguan ginjal, azatioprin yang merupakan obat pendamping kortikosteroid agar kebutuhan kortikosteroid dapat dikurangi, dan klorambusil.
Penggunaan obat-obat tadi mesti dengan pertimbangan matang mengingat efek sampingan yang ditimbulkan. Obat kortikosteroid, misalnya, bisa memberi efek sampingan berupa wajah membulat (moonface), penyakit cushing, osteoporosis, diabetes melitus, hipertensi, gangguan lambung, dsb. OAINS menimbulkan gangguan lambung, ginjal, darah, dsb. Obat antimalaria memberi dampak gangguan penglihatan akibat deposit di kornea mata dan retinopati. Sedangkan imunosupresif memberi efek sampingan berupa mual atau muntah, gangguan darah, ginjal, dan mudah terkena infeksi.

Penelitian di Eropa dan Canada baru-baru ini menunjukkan menurunnya angka kematian akibat penyakit ini, di mana 90% penderita dapat bertahan lebih dari 5 (lima) tahun dan 75-85% penderita dapat bertahan sampai 10 (sepuluh) tahun.

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by 69plusplus Magazine  |  Template by Blogger